Langsung ke konten utama

Bubun Buncis Takut Malam

 

   



Bubun buncis sedang ketakutan.  Sejak sore tadi ayah, ibu dan kedua adiknya pergi ke rumah paman.

“Bun, kali ini kamu tidak boleh ikut ya. Ibu tak enak kalau kedatanganmu nanti akan menulari anggota keluarga  paman.  Besok kalau kau sudah sembuh, ibu berjanji akan mengantarmu mengunjungi paman,” jelas ibu sebelum mereka pergi.

“Kami tak akan lama, sebelum gelap pasti sudah kembali,” lanjut ibu.

Bubun Buncis terpaksa menuruti saran ibunya, karena ia memang sedang sakit flu berat.

“Tapi janji ya, jangan pulang malam-malam.  Aku pasti ketakutan sendirian di rumah,” pinta Bubun Buncis.

Sudah empat jam mereka pergi, matahari mulai tenggelam.  Namun, ayah, ibu dan kedua adik Bubun belum juga tiba di rumah.  Bubun mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir di halaman rumah menunggu kedatangan keluarganya.

Hari kemudian berubah menjadi gelap, Bubun hanya sendirian di rumahnya.  Ini adalah pengalaman pertama Bubun tinggal di rumah sendirian.  Bubun ketakutan, air matanya mulai berlinang. 

“Ibuuu, aku takut sendirian.  Aku tak bisa melihat apa-apa, di sekitarku hanya ada kegelapan,” katanya sambil terisak.

“Cepat pulang Ibuuu,” isaknya.

Langit makin gelap tetapi keluarganya belum juga datang.  Tangisan Bubun Buncis semakin keras.

“Hai buncis, mengapa kau menangis?” terdengar suara memanggil Bubun.

Sejenak Bubun menghentikan tangisnya.  Ia mencari asal suara itu.  Ia mengengok ke kanan, ke kiri lalu melihat ke belakang. Ia tak melihat apa-apa! Bubun semakin ketakutan.  Ia kembali menangis sambil menutup mata dengan kedua tangannya.

“Ibuuuu, aku takut,” teriaknya sambil menangis.

“Hai jangan menangis, jangan takut.” Suara itu terdengar lagi.

“Coba dongakkan kepalamu ke langit, aku berada tepat di atasmu,” kata suara itu dengan lantang.

Bubun Buncis diam, ia ragu-ragu.

“Jangan-jangan aku melihat hantu,” pikirnya.

“Ayo jangan ragu, aku tidak menakutkan.” Suara itu terdengar lagi.

Bubun melihat ke atas, di sana banyak bertaburan bintang yang berkelap-kelip. Ia terkesima melihatnya.

“Indah sekali,” gumamnya.

Ia teringat dongeng ibu beberapa waktu lalu. Ya, ibu selalu mengantarkan anak-anaknya tidur dengan sebuah dongeng yang indah, dan Bubun ingat dongeng ibu tentang bintang si penerang di malam hari. 

“Mengapa aku tak pernah melihat bintang sebelumnya,” pikirnya.

“Benar kata ibu, bintang-bintang itu sangat cantik menghiasi langit malam,” katanya sambil mengagumi bintang-bintang itu.

“Kau kah bintang yang berbicara padaku tadi?” tanya Bubun.

“Ya, aku yang berbicara padamu tadi,” jawab salah satu bintang.

Mengetahui Bubun kebingungan mencari bintang yang memanggilnya, salah satu bintang berseru,”Lihat,  bintang besar sedang berkedip-kedip, akulah yang sedang berbicara padamu.”

Bubun melihat sebuah bintang sedang berkedip dan bercahaya paling terang.  Lalu mereka bercakap-cakap hingga Bubun lupa akan rasa takutnya malam itu.

“Bolehkan aku mengambil salah satu bintang, agar bisa menemaniku setiap malam?” tanya Bubun pada bintang.

“Jarak kita jauh sekali Bubun, kau tak mungkin bisa membawa kami ke rumahmu,” sahut bintang itu.

“Lagi pula mengapa kau harus bersusah payah membawa bintang ke rumahmu? Aku tak akan kemana-mana, kami selalu ada di langit untuk menerangi bumi diwaktu malam.  Jadi, jangan pernah takut gelap malam.  Kalau malam tiba, lihatlah ke atas, kami akan selalu menemanimu.  Kau tak pernah sendiri, Bun,” jelas bintang.

Dari kejauhan Bubun Buncis melihat Ayah, Ibu dan kedua adiknya.  Ia sangat senang ditemani oleh para bintang.

“Bintang, terima kasih sudah menemaniku, aku tak akan takut malam lagi,” teriak Bubun.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimi Kelinci Sang Penolong

    Mimi Kelinci menegakkan telinga panjangnya, sayup-sayup ia   mendengar suara minta tolong.     Ia   mulai berjalan ke arah   suara itu berasal.   Kakinya yang lincah mulai melompat melewati setiap hambatan yang ia temui. “Aku harus menemukan siapa pemilik suara itu,   sepertinya ia dalam bahaya,” pikirnya. Walaupun ia sudah berjalan cukup jauh, akan tetapi Mimi belum   bisa menemukan dari mana   suara itu berasal.   Mimi hampir putus asa karena tak bisa menemukan pemilik suara itu. Untunglah suara itu terdengar lagi. “Toloooong.” Suara itu kini terdengar lebih dekat. Hanya dengan beberapa lompatan, Mimi Kelinci sudah bisa menemukan siapa yang meminta tolong itu. Seekor anak penyu berada di tengah jalan aspal dan sebuah mobil yang melaju kencang sedang berjalan ke arah anak penyu itu. Tanpa pikir panjang Mimi Kelinci   menggendong anak penyu itu, lalu membawanya   ke pinggir jalan.   “Untunglah...

Janji si Lebah

  Tutu semut tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.   Kini, badannya sedang   terombang-ambing mengikuti gerakan ransel biru yang sedang digendong oleh Alit, seorang anak laki-laki pemilik ransel itu.    Tutu tak tahu kemana Alit akan pergi, ia tak sengaja ikut dalam ransel itu.   Kalau saja ia mendengar nasehat teman-temannya, mungkin saat ini Tutu tak harus menahan takutnya bergelantungan di ujung ransel itu.   Beberapa menit yang lalu, segerombolan semut mencium aroma manis dari sebuah ransel biru tua yang tergeletak di lantai.   “Teman-teman, disini ada roti kering manis,” teriak Pimpim Semut. ”Ayo bentuk barisan, kita kumpulkan remah-remah roti kering ini untuk persedian kita.” Pimpim Semut mengajak semut yang lain. Tanpa menunggu lama, gerombolan semut itu langsung membentuk barisan   menuju ransel itu untuk mengumpulkan roti kering itu, juga Tutu.   Ini pengalaman pertama buat Tutu, sebelumnya ia belum diperbolehkan ka...