Langsung ke konten utama

Janji si Lebah

 




Tutu semut tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.  Kini, badannya sedang  terombang-ambing mengikuti gerakan ransel biru yang sedang digendong oleh Alit, seorang anak laki-laki pemilik ransel itu.   Tutu tak tahu kemana Alit akan pergi, ia tak sengaja ikut dalam ransel itu.  Kalau saja ia mendengar nasehat teman-temannya, mungkin saat ini Tutu tak harus menahan takutnya bergelantungan di ujung ransel itu. 

Beberapa menit yang lalu, segerombolan semut mencium aroma manis dari sebuah ransel biru tua yang tergeletak di lantai.

 “Teman-teman, disini ada roti kering manis,” teriak Pimpim Semut.

”Ayo bentuk barisan, kita kumpulkan remah-remah roti kering ini untuk persedian kita.” Pimpim Semut mengajak semut yang lain.

Tanpa menunggu lama, gerombolan semut itu langsung membentuk barisan  menuju ransel itu untuk mengumpulkan roti kering itu, juga Tutu.  Ini pengalaman pertama buat Tutu, sebelumnya ia belum diperbolehkan karena masih terlalu kecil.   Aroma roti kering itu sungguh membuat gerombolan semut itu bersemangat, sehingga tak butuh waktu lama untuk membuatnya berpindah tempat.  Kini sarang mereka sudah dipenuhi dengan remah-remah beraroma manis dan harum itu.

“Terima kasih teman-teman, tugas kita sudah selesai, persediaan makanan kita sudah sangat banyak,” seru Pimpim semut yang berterimakasih pada seluruh semut.

“Dimana Tutu, tadi dia selalu berada di sebelah kita?” tanya Jola pada Sasa.  Kemudian keduanya melihat kearah ransel biru tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka melihat Tutu masih ada di sana.

“Tutu, sini…kita istirahat dulu,” ajak keduanya.

Tutu melambaikan tangannya, baru saja ia hendak meninggalkan ransel biru itu, tiba-tiba seorang anak laki-laki mengambil ransel itu dan memakai dipunggungnya.

“Aaaaaaaaa,” teriak Jola dan Sasa  bersamaan.  Mereka ngeri melihat Tutu yang hampir saja terjatuh dari ransel biru itu.

Tutu berusaha memegang ransel itu lebih kuat, walaupun ia harus bersusah payah memegangnya.

“Tutu…Tutu…Tutuuu,” teriak Jola dan Sasa.  Teriakaan mereka makin lama makin tak terdengar, karena jarak mereka semakin jauh. 

“Kemana anak ini akan pergi,” gumam Tutu.

“Bisa-bisa aku terpisah dari kelompokku, bagaimana ini?” katanya cemas.

“Bagaimana aku bisa kembali pada kelompokku,” katanya mulai takut.

“Aku tak boleh lepas dari ransel ini, karena aku yakin anak laki-laki ini pasti pulang,” pikirnya.

Tutu berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpegangan pada ransel itu, ia mulai berjalan di permukaan ransel itu untuk mencari tempat berlindung.  Ia melihat ada cekungan kantong pada ransel itu.

“Aku harus masuk ke dalam kantung itu,” pikirnya.

Malang nasibnya, baru saja beberapa langkah menuju kantung itu, angin besar menerpa tubuhnya.  Tutu terjatuh! Ia terlepas dari ransel itu.  Badannya yang ringan melayang mengikuti tiupan angin yang berlari kencang. 

Tutu berteriak, ia sangat ketakutan.  Ia tak sanggup lagi membuka matanya, ia hanya bisa pasrah mengikuti kemana  angina itu membawanya.  Tiba-tiba…..braaak, badannya menabrak sebuah ranting kecil kemudian tubuhnya mendarat pada sebuah daun yang letaknya tak jauh dari situ. Tutu tak sadarkan diri, badan kecilnya tergeletak lemas pada daun itu.

Sebuah tiupan kecil membuat Tutu siuman.

“Dimana aku?” tanya Tutu kebingungan.  Namun, yang membuatnya lebih kaget, di depannya berdiri seekor lebah. 

Tutu hendak berjalan mundur, saat melihat seekor lebah di depannya.  Namun, daun tempatnya berpijak sangat kecil, ia bisa jatuh!  Tak ada pilihan, Tutu harus diam di tempatnya.

“Ka...ka…kamu mau apa lebah berdiri di depanku?” tanya Tutu memberanikan diri.

“Hai semut, tenang saja aku tak akan memakanmu,” kata lebah itu, sepertinya ia tahu apa yang sedang dipikirkan Tutu.

“Aku nggak suka semut, nggak enak rasanya…hahhahaha.” Lebah itu bercanda.

Seketika rasa takut Tutu hilang, karena ia tahu lebah itu tak akan memakannya.

“Kamu bukan semut yang hidup di pohon ini ‘kan?” selidik lebah.

“Mengapa kamu sendirian di tempat ini?” tanyanya lagi.

“Aku Tutu semut yang tinggal di perumahan, aku terlepas dari ransel biru anak laki-laki  yang tinggal di rumah, dekat sarangku berada.  Aku terbawa angin kencang, lalu tiba-tiba aku berada disini,” jelas Tutu.

“Tapi, bagaimana aku bisa pulang, pasti jaraknya jauh sekali.” Tutu termenung.

“Tak mungkin aku bisa pulang,” lanjutnya, ia mulai sedih memikirkan apa yang dialaminya.

“Tenang saja, aku mau kok mengantarmu mencari rumahmu,” celoteh lebah itu.

“Benarkah?” tanya Tutu setengah percaya.

“Memang kamu bisa terbang jauh?” tanya Tutu lagi.

“Eeeh kamu meragukan kemampuan sayapku ini?” sergah lebah.

“Biarpun tak sebesar kupu-kupu atau burung, tetapi seekor lebah bisa terbang berkilo-kilo meter lho,” jelasnya.

“Ya…ya…aku percaya kok, aku pernah melihat lebah disekitar tempat tinggalku,” jawab Tutu.

“Ayook, naik keatas punggungku!” seru lebah itu.

Tanpa ragu sedikit pun, Tutu segera naik ke atas punggung lebah yang baru dikenalnya itu.

“Pegang erat-erat ya, jangan sampai jatuh!” Lebah itu memberi perintah.

Tutu sangat senang bertemu lebah yang mau mengantarnya mencari sarang tempat ia dan kelompoknya tinggal.

“Lebah, bagaimana kamu bisa mencari tempat tinggalku.  Bukankah kita baru saja bertemu, aku tak pernah melihatmu sebelumnya,” selidik Tutu Semut.

“Tenang sajalah semut, aku janji akan mengantarmu ke tempatmu.  Kamu bisa pegang janjiku, aku tak akan mengingkarinya.  Percaya saja!” tegas lebah itu.

Tak lama kemudian, lebah itu hinggap pada sebuah ranting pohon kelengkeng.  Lebah itu bertemu beberapa temannya, mereka berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Tutu.

“Rumahmu sudah dekat Tutu,” kata lebah itu, sambil terus mengepakkan sayap kecilnya.  Tutu tak sabar membuktikan ucapan lebah itu. 

“Eiits, hati-hati lebah…mengapa terbangmu semakin rendah. Kau tidak sedang jatuhkan?” tanya Tutu saat menyadari lebah itu terbang makin rendah.

“Tidaaaaak, tenang saja. Kamu aman terbang bersamaku,” katanya sambil tertawa melihat teman barunya itu ketakutan.

“Tuh lihat semut-semut itu, mereka teman-temanmu ‘kan?” tanya lebah sambil menunjuk ke arah segerombolan semut.

“Tutu…Tutu…itu Tutu…,” teriak Sasa.

Tutu mendengar teriakan Sasa memanggilnya.  Ia segera turun dari punggung lebah.

“Terima kasih lebah, kau memang lebah yang baik hati.  Semoga kita bisa bertemu lagi ya.”  Tutu mengucap terima kasih kepada lebah.  Tutu senang sekali, ia tak menyangka bisa secepat ini menemukan teman-temannya.  Sejak saat itu Tutu selalu menceritakan kebaikan lebah pada teman-temannya.

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bubun Buncis Takut Malam

       B ubun buncis sedang ketakutan.   Sejak sore tadi ayah, ibu dan kedua adiknya pergi ke rumah paman. “Bun, kali ini kamu tidak boleh ikut ya. Ibu tak enak kalau kedatanganmu nanti akan menulari anggota keluarga   paman.   Besok kalau kau sudah sembuh, ibu berjanji akan mengantarmu mengunjungi paman,” jelas ibu sebelum mereka pergi. “Kami tak akan lama, sebelum gelap pasti sudah kembali,” lanjut ibu. Bubun Buncis terpaksa menuruti saran ibunya, karena ia memang sedang sakit flu berat. “Tapi janji ya, jangan pulang malam-malam.   Aku pasti ketakutan sendirian di rumah,” pinta Bubun Buncis. Sudah empat jam mereka pergi, matahari mulai tenggelam.   Namun, ayah, ibu dan kedua adik Bubun belum juga tiba di rumah.   Bubun mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir di halaman rumah menunggu kedatangan keluarganya. Hari kemudian berubah menjadi gelap, Bubun hanya sendirian di rumahnya.   Ini adalah pengalaman pertama Bubun...

Mimi Kelinci Sang Penolong

    Mimi Kelinci menegakkan telinga panjangnya, sayup-sayup ia   mendengar suara minta tolong.     Ia   mulai berjalan ke arah   suara itu berasal.   Kakinya yang lincah mulai melompat melewati setiap hambatan yang ia temui. “Aku harus menemukan siapa pemilik suara itu,   sepertinya ia dalam bahaya,” pikirnya. Walaupun ia sudah berjalan cukup jauh, akan tetapi Mimi belum   bisa menemukan dari mana   suara itu berasal.   Mimi hampir putus asa karena tak bisa menemukan pemilik suara itu. Untunglah suara itu terdengar lagi. “Toloooong.” Suara itu kini terdengar lebih dekat. Hanya dengan beberapa lompatan, Mimi Kelinci sudah bisa menemukan siapa yang meminta tolong itu. Seekor anak penyu berada di tengah jalan aspal dan sebuah mobil yang melaju kencang sedang berjalan ke arah anak penyu itu. Tanpa pikir panjang Mimi Kelinci   menggendong anak penyu itu, lalu membawanya   ke pinggir jalan.   “Untunglah...

Geri Si Gurita Biru

      Sejak kedua orang tuanya tertangkap, Geri Gurita hidup sebatang kara.   Tidak ada penghuni laut lain yang mau menemaninya bermain.   Seluruh penghuni laut takut melihatnya, karena Geri adalah   gurita berwarna biru . “Jangan bermain dengan Geri, nanti kamu tertular penyakitnya lho.   Atau bisa saja sebetulnya dia adalah monster laut yang   sewaktu-waktu memangsa kamu,” kata   bintang laut . “Memangnya Si Geri sakit apa ?” tanya kuda laut penasaran. “Aku tidak tahu kuda laut, tapi lihat saja mana ada sih gurita berwarna biru?” tukas bintang laut kesal. “Sana kalau kamu mau bermain dengannya, kalau kamu tidak takut.    Tapi aku tidak mau menemanimu,” tegas bintang laut “Tentu tidak, aku hanya bertanya penyakit apa yang menyerang Geri,” tukas kuda laut. Tak jauh situ Geri sedang bersembunyi di balik terumbu karang yang rimbun, ia sangat sedih mendengar percakapan mereka.   Ini bukan pertama kalinya ia mende...