Tutu semut tak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Kini, badannya sedang terombang-ambing mengikuti gerakan ransel biru
yang sedang digendong oleh Alit, seorang anak laki-laki pemilik ransel
itu. Tutu tak tahu kemana Alit akan
pergi, ia tak sengaja ikut dalam ransel itu.
Kalau saja ia mendengar nasehat teman-temannya, mungkin saat ini Tutu
tak harus menahan takutnya bergelantungan di ujung ransel itu.
Beberapa menit yang lalu, segerombolan semut mencium
aroma manis dari sebuah ransel biru tua yang tergeletak di lantai.
“Teman-teman,
disini ada roti kering manis,” teriak Pimpim Semut.
”Ayo bentuk barisan, kita kumpulkan remah-remah roti
kering ini untuk persedian kita.” Pimpim Semut mengajak semut yang lain.
Tanpa menunggu lama, gerombolan semut itu langsung
membentuk barisan menuju ransel itu
untuk mengumpulkan roti kering itu, juga Tutu.
Ini pengalaman pertama buat Tutu, sebelumnya ia belum diperbolehkan
karena masih terlalu kecil. Aroma roti
kering itu sungguh membuat gerombolan semut itu bersemangat, sehingga tak butuh
waktu lama untuk membuatnya berpindah tempat.
Kini sarang mereka sudah dipenuhi dengan remah-remah beraroma manis dan
harum itu.
“Terima kasih teman-teman, tugas kita sudah selesai,
persediaan makanan kita sudah sangat banyak,” seru Pimpim semut yang berterimakasih
pada seluruh semut.
“Dimana Tutu, tadi dia selalu berada di sebelah kita?”
tanya Jola pada Sasa. Kemudian keduanya
melihat kearah ransel biru tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Mereka
melihat Tutu masih ada di sana.
“Tutu, sini…kita istirahat dulu,” ajak keduanya.
Tutu melambaikan tangannya, baru saja ia hendak
meninggalkan ransel biru itu, tiba-tiba seorang anak laki-laki mengambil ransel
itu dan memakai dipunggungnya.
“Aaaaaaaaa,” teriak Jola dan Sasa bersamaan.
Mereka ngeri melihat Tutu yang hampir saja terjatuh dari ransel biru
itu.
Tutu berusaha memegang ransel itu lebih kuat, walaupun
ia harus bersusah payah memegangnya.
“Tutu…Tutu…Tutuuu,” teriak Jola dan Sasa. Teriakaan mereka makin lama makin tak
terdengar, karena jarak mereka semakin jauh.
“Kemana anak ini akan pergi,” gumam Tutu.
“Bisa-bisa aku terpisah dari kelompokku, bagaimana
ini?” katanya cemas.
“Bagaimana aku bisa kembali pada kelompokku,” katanya
mulai takut.
“Aku tak boleh lepas dari ransel ini, karena aku yakin
anak laki-laki ini pasti pulang,” pikirnya.
Tutu berusaha sekuat tenaga untuk tetap berpegangan
pada ransel itu, ia mulai berjalan di permukaan ransel itu untuk mencari tempat
berlindung. Ia melihat ada cekungan
kantong pada ransel itu.
“Aku harus masuk ke dalam kantung itu,” pikirnya.
Malang nasibnya, baru saja beberapa langkah menuju
kantung itu, angin besar menerpa tubuhnya.
Tutu terjatuh! Ia terlepas dari ransel itu. Badannya yang ringan melayang mengikuti
tiupan angin yang berlari kencang.
Tutu berteriak, ia sangat ketakutan. Ia tak sanggup lagi membuka matanya, ia hanya
bisa pasrah mengikuti kemana angina itu
membawanya. Tiba-tiba…..braaak, badannya
menabrak sebuah ranting kecil kemudian tubuhnya mendarat pada sebuah daun yang
letaknya tak jauh dari situ. Tutu tak sadarkan diri, badan kecilnya tergeletak
lemas pada daun itu.
Sebuah tiupan kecil membuat Tutu siuman.
“Dimana aku?” tanya Tutu kebingungan. Namun, yang membuatnya lebih kaget, di
depannya berdiri seekor lebah.
Tutu hendak berjalan mundur, saat melihat seekor lebah
di depannya. Namun, daun tempatnya
berpijak sangat kecil, ia bisa jatuh!
Tak ada pilihan, Tutu harus diam di tempatnya.
“Ka...ka…kamu mau apa lebah berdiri di depanku?” tanya
Tutu memberanikan diri.
“Hai semut, tenang saja aku tak akan memakanmu,” kata
lebah itu, sepertinya ia tahu apa yang sedang dipikirkan Tutu.
“Aku nggak suka semut, nggak enak rasanya…hahhahaha.”
Lebah itu bercanda.
Seketika rasa takut Tutu hilang, karena ia tahu lebah
itu tak akan memakannya.
“Kamu bukan semut yang hidup di pohon ini ‘kan?”
selidik lebah.
“Mengapa kamu sendirian di tempat ini?” tanyanya lagi.
“Aku Tutu semut yang tinggal di perumahan, aku
terlepas dari ransel biru anak laki-laki yang tinggal di rumah, dekat sarangku
berada. Aku terbawa angin kencang, lalu tiba-tiba
aku berada disini,” jelas Tutu.
“Tapi, bagaimana aku bisa pulang, pasti jaraknya jauh
sekali.” Tutu termenung.
“Tak mungkin aku bisa pulang,” lanjutnya, ia mulai
sedih memikirkan apa yang dialaminya.
“Tenang saja, aku mau kok mengantarmu mencari
rumahmu,” celoteh lebah itu.
“Benarkah?” tanya Tutu setengah percaya.
“Memang kamu bisa terbang jauh?” tanya Tutu lagi.
“Eeeh kamu meragukan kemampuan sayapku ini?” sergah
lebah.
“Biarpun tak sebesar kupu-kupu atau burung, tetapi
seekor lebah bisa terbang berkilo-kilo meter lho,” jelasnya.
“Ya…ya…aku percaya kok, aku pernah melihat lebah
disekitar tempat tinggalku,” jawab Tutu.
“Ayook, naik keatas punggungku!” seru lebah itu.
Tanpa ragu sedikit pun, Tutu segera naik ke atas
punggung lebah yang baru dikenalnya itu.
“Pegang erat-erat ya, jangan sampai jatuh!” Lebah itu
memberi perintah.
Tutu sangat senang bertemu lebah yang mau mengantarnya
mencari sarang tempat ia dan kelompoknya tinggal.
“Lebah, bagaimana kamu bisa mencari tempat
tinggalku. Bukankah kita baru saja
bertemu, aku tak pernah melihatmu sebelumnya,” selidik Tutu Semut.
“Tenang sajalah semut, aku janji akan mengantarmu ke
tempatmu. Kamu bisa pegang janjiku, aku
tak akan mengingkarinya. Percaya saja!”
tegas lebah itu.
Tak lama kemudian, lebah itu hinggap pada sebuah
ranting pohon kelengkeng. Lebah itu
bertemu beberapa temannya, mereka berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti
oleh Tutu.
“Rumahmu sudah dekat Tutu,” kata lebah itu, sambil
terus mengepakkan sayap kecilnya. Tutu
tak sabar membuktikan ucapan lebah itu.
“Eiits, hati-hati lebah…mengapa terbangmu semakin
rendah. Kau tidak sedang jatuhkan?” tanya Tutu saat menyadari lebah itu terbang
makin rendah.
“Tidaaaaak, tenang saja. Kamu aman terbang bersamaku,”
katanya sambil tertawa melihat teman barunya itu ketakutan.
“Tuh lihat semut-semut itu, mereka teman-temanmu ‘kan?”
tanya lebah sambil menunjuk ke arah segerombolan semut.
“Tutu…Tutu…itu Tutu…,” teriak Sasa.
Tutu mendengar teriakan Sasa memanggilnya. Ia segera turun dari punggung lebah.
“Terima kasih lebah, kau memang lebah yang baik
hati. Semoga kita bisa bertemu lagi
ya.” Tutu mengucap terima kasih kepada
lebah. Tutu senang sekali, ia tak
menyangka bisa secepat ini menemukan teman-temannya. Sejak saat itu Tutu selalu menceritakan
kebaikan lebah pada teman-temannya.
Komentar
Posting Komentar