Langsung ke konten utama

Bunglon Penunggu Pohon Bambu

 




Seminggu ini keluarga  Bunglon bersedih hati.   Mama Bunglon, setiap hari  menangis karena dia tidak bisa menemukan anaknya yang sangat ia cintai.  Sudah seminggu ini, anak kesayanganya, Bungli tidak pernah  pulang.  Papa dan Mama Bunglon sudah mencari kemana-mana, tetapi mereka tak menemukan jejak anak kesayangannya  itu.

"Pa, coba minta bantuan teman-teman kita yang lainnya, siapa tahu mereka dapat membantu menemukan Bungli , sehingga anak kita bisa lebih cepat  ditemukan", Mama Bunglon memohon kepada  Papa Bunglon sambil menangis terisak.

"Kasian anak kita Pa, jangan-jangan dia sudah ditangkap manusia, lalu dimasukkan ke dalam kandang yang kecil....hu..hu...hu..," tangis Mama Bunglon semakin keras.

"Aku tidak bisa membayangkan Pa, Bungli pasti kelaparan, dan tidak lama lagi akan  mati," kata Mama Bunglon sambil menyeka air matanya yang terus turun membasahi pipinya.

"Tenang Ma, nanti kita minta bantuan kepada seluruh bunglon yang ada di hutan ini,  aku yakin mereka mau membantu mencari Bungli," Papa bunglon menenangkan Mama Bunglon.

Tak lama kemudian, seluruh bunglon yang hidup di hutan itu berkumpul di depan rumah Papa Bunglon.

"Teman-temanku semua, sudah satu minggu ini, anakku Bungli menghilang.  Aku dan istriku sudah mencarinya kemana-mana, tetapi Bungsi belum bisa kutemukan.  Aku berharap kalian bisa menolongku mencari anakku yang hilang," kata Papa Bunglon.

"Baik, Pak," sahut seluruh bunglon dengan semangat.

"Kami akan berusaha menemukan Bungli, Pak," kata Niku bunglon besar  yang dikenal paling berani di hutan itu.

Keesokan harinya seluruh bunglon di hutan itu pergi mencari Bungli.  Mereka berpencar pergi ke arah yang berbeda-beda, seperti apa yang katakan oleh Papa Bunglon.

"Bungli...Bungli....Bungli," teriak beberapa bunglon dengan sekuat tenaga.

Mereka berharap Bungli akan mendengar panggilan itu.  Namun, panggilan mereka tidak juga mendapatkan jawaban dari Bungli.  Sudah seharian mereka mencari Bungli, tetapi mereka  belum juga menemukannya.  Mereka mulai kelelahan, dan akhirnya mereka memutuskan untuk  beristirahatlah pada sebuah pohon besar yang tumbuh di halaman sebuah rumah.  Sambil beristirahat, mereka mendengar percakapan pemilik rumah itu.

"Bu, beberapa hari ini aku melihat binatang aneh di pohon bambu," cerita anak laki-laki berambut keriting kepada ibunya."

"Binatang aneh katamu?" tanya ibunya penasaran.

"Iya, Bu.  Binatang itu warnanya coklat, ekornya panjang, tetapi aku tak tahu bentuknya seperti apa, karena ia selalu bersembunyi dibalik pohon bambu yang rimbun" anak itu menerangkan.

"Setiap kali aku mendekatinya, binatang itu selalu cepat-cepat pergi menjauh," lanjutnya.

"Sepertinya dia penunggu pohon bambu, bu," kata dengan mata berbinar-binar.

Pembicaraan ibu dan anak itu, terdengar oleh Niku Bunglon yang sejak tadi tidak bisa tidur karena terus memikirkan Bungli.

"Eh,....bangun, bangun!“ Niku membangunkan teman-temannya yang tidur kelelahan.

“Kalian dengar pembicaraan manusia di rumah itu?" tanya Niku Bunglon kepada teman-temannya.

"Ya, aku dengar," salah satu bunglon menjawab.

"Di pohon bambu ada binatang berwarna coklat, ekornya panjang, apakah itu Bungli?" tanya yang lainnya.

"Ayo kita lihat teman-teman, siapa tahu itu Bungli," kata Niku Bunglon.

Seluruh bunglon yang sedang istirahat itu bergegas menuju pohon bambu yang ada di dekat rumah itu.

"Bungli....Bungli...," panggil Niku. Mendengar namanya dipanggil, Bungli senang tidak kepalang.  Dia sangat mengenal suara itu.

"Niku, engkaukah itu?" tanya Bungli.

"Aku di sini Niku," sahut Bungli sambil mengeluarkan kepalanya dari balik pohon dedaunan pohon bambu.

Mereka sangat senang bisa menemukan Bungli dalam keadaan selamat. 

"Ayo cepat kita pulang, keluargamu sudah menunggumu," kata Niku.

Sesampainya di rumah, Papa  Bunglon langsung memeluk erat anaknya yang sudah seminggu hilang.  Mama Bunglon pun tak kalah erat memeluk Bungli yang sudah sangat dirindukannya siang dan malam.  Hilanglah sudah kesedihan selama ini, berganti dengan suka ria menyambut kedatangan Bungli.

Mereka merayakan kembalinya Bungli dengan menari-nari, meloncat dari pohon satu ke pohon lainnya mengikuti nyanyian angin yang mereka dengar.   Namun, ada sesuatu yang berbeda pada tubuh Bungli.

"Hai, ada apa dengan badanmu Bungli?" Mengapa badanmu tidak berubah warna seperti kami?" tanya Papa Bunglon keheranan, sambil melihat tubuh Bungli yang tetap berwarna coklat walaupun berada diatas daun yang berwarna hijau.

Tubuh bunglon dapat berubah-ubah warnanya menyerupai warna disekitarnya, sehingga tidak mudah dilihat oleh musuh.  Tapi tidak dengan Bungli hari itu,  tubuhnya  tetap berwarna coklat walaupun dia berada di atas dedaunan yang berwarna hijau.

"Aku tidak tahu Pa, waktu itu aku sedang bermain di pohon bambu bersama temanku, tiba-tiba saja tubuhku tidak bisa berubah warna. Semua temanku pergi, tapi aku takut pulang,“ jelas Bungli.

 “ Akhirnya aku tetap bersembunyi di pohon bambu, sampai aku mendengar suara Niku memanggilku,“ lanjut Bungli mengakhiri ceritanya.

"Baiklah, kita tunggu beberapa hari lagi ya Bungli, nanti Mama buatkan obat ramuan  nenek,  dan jangan lupa berdoa supaya  tubuhmu seperti semula," kata Mama Bunglon dengan lembut.

Walaupun tubuh belum bisa berubah warna lagi, tetapi ia senang karena sudah berada di tengah keluarganya yang ia cintai.  Ada Papa dan Mama Bunglon, juga teman-temannya yang pasti akan menolongnya bila ada musuh menyerangnya.  Setiap hari Bungli minum obat ramuan yang dibuat Mama Bunglon, dan tidak lupa berdoa agar tubuhnya bisa kembali seperti sediakala.  Sejak hari itu Bungli  tidak bersembunyi lagi, ia sudah berani bermain bersama temannya. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bubun Buncis Takut Malam

       B ubun buncis sedang ketakutan.   Sejak sore tadi ayah, ibu dan kedua adiknya pergi ke rumah paman. “Bun, kali ini kamu tidak boleh ikut ya. Ibu tak enak kalau kedatanganmu nanti akan menulari anggota keluarga   paman.   Besok kalau kau sudah sembuh, ibu berjanji akan mengantarmu mengunjungi paman,” jelas ibu sebelum mereka pergi. “Kami tak akan lama, sebelum gelap pasti sudah kembali,” lanjut ibu. Bubun Buncis terpaksa menuruti saran ibunya, karena ia memang sedang sakit flu berat. “Tapi janji ya, jangan pulang malam-malam.   Aku pasti ketakutan sendirian di rumah,” pinta Bubun Buncis. Sudah empat jam mereka pergi, matahari mulai tenggelam.   Namun, ayah, ibu dan kedua adik Bubun belum juga tiba di rumah.   Bubun mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir di halaman rumah menunggu kedatangan keluarganya. Hari kemudian berubah menjadi gelap, Bubun hanya sendirian di rumahnya.   Ini adalah pengalaman pertama Bubun...

Mimi Kelinci Sang Penolong

    Mimi Kelinci menegakkan telinga panjangnya, sayup-sayup ia   mendengar suara minta tolong.     Ia   mulai berjalan ke arah   suara itu berasal.   Kakinya yang lincah mulai melompat melewati setiap hambatan yang ia temui. “Aku harus menemukan siapa pemilik suara itu,   sepertinya ia dalam bahaya,” pikirnya. Walaupun ia sudah berjalan cukup jauh, akan tetapi Mimi belum   bisa menemukan dari mana   suara itu berasal.   Mimi hampir putus asa karena tak bisa menemukan pemilik suara itu. Untunglah suara itu terdengar lagi. “Toloooong.” Suara itu kini terdengar lebih dekat. Hanya dengan beberapa lompatan, Mimi Kelinci sudah bisa menemukan siapa yang meminta tolong itu. Seekor anak penyu berada di tengah jalan aspal dan sebuah mobil yang melaju kencang sedang berjalan ke arah anak penyu itu. Tanpa pikir panjang Mimi Kelinci   menggendong anak penyu itu, lalu membawanya   ke pinggir jalan.   “Untunglah...

Janji si Lebah

  Tutu semut tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.   Kini, badannya sedang   terombang-ambing mengikuti gerakan ransel biru yang sedang digendong oleh Alit, seorang anak laki-laki pemilik ransel itu.    Tutu tak tahu kemana Alit akan pergi, ia tak sengaja ikut dalam ransel itu.   Kalau saja ia mendengar nasehat teman-temannya, mungkin saat ini Tutu tak harus menahan takutnya bergelantungan di ujung ransel itu.   Beberapa menit yang lalu, segerombolan semut mencium aroma manis dari sebuah ransel biru tua yang tergeletak di lantai.   “Teman-teman, disini ada roti kering manis,” teriak Pimpim Semut. ”Ayo bentuk barisan, kita kumpulkan remah-remah roti kering ini untuk persedian kita.” Pimpim Semut mengajak semut yang lain. Tanpa menunggu lama, gerombolan semut itu langsung membentuk barisan   menuju ransel itu untuk mengumpulkan roti kering itu, juga Tutu.   Ini pengalaman pertama buat Tutu, sebelumnya ia belum diperbolehkan ka...