Langsung ke konten utama

Petualangan Manta dan Dorin

 




 

Manta adalah ikan pari kecil, yang hidup di dasar laut yang dalam.   Walaupun ia masih kecil, akan tetapi hampir semua tempat sudah dijelajahinya.  Ia ikan yang sangat pemberani, semua orang tahu dan tak meragukan keberaniannya dalam hal berpetualang. 

Cerita tentang Manta yang sangat pemberani ini,  sampai juga ke telinga Dorin si ikan berwarna biru yang penakut.  Dorin tidak pernah bermain jauh dari rumahnya.  Hal inilah yang membuatnya sering diejek oleh teman-temannya.  Maklum saja, Dorin hidup sebatang kara sejak kedua orang tuanya mati terkena bom buatan manusia.  Tidak pernah ada yang mengajari Dorin untuk berani.  Kadang, Dorin merasa iri melihat Nuna yang selalu diajari ayahnya untuk berani.  Tak jarang Nuna berenang jauh sekali melihat keindahan laut di bagian lain ditemani ayahnya.  Pernah suatu hari Dorin ingin ikut bermain bersama Nuna, akan tetapi Nuna malah mengejeknya sebagai ikan yang penakut.  Hal ini membuat Dorin menjadi sedih dan takut berteman dengan ikan lainnya.

Setelah mendengar cerita tentang Manta, Dorin ingin sekali berkenalan dengan Manta.  Ia merasa yakin, Manta akan menerimanya dan menjadi seorang teman yang baik baginya.  Maka pergilah Dorin mencari Manta.

“Manta….Manta…Manta,” teriak Dorin dengan suara lantang. 

Dorin bersembunyi diantara terumbu karang yang hidup di situ, agar tak terlihat oleh ikan lain yang bisa saja memangsanya.  Ia mulai gelisah setelah menunggu beberapa lama, Manta tak juga muncul.

“Kemana ya Manta?” tanyanya dalam hati.

“Jangan-jangan ia sedang pergi ke tempat lain,” pikirnya.

“Lebih baik aku pulang saja, besok aku kembali lagi untuk mencarinya.”  Dorin membalikkan badannya hendak meninggalkan tempat itu.  Namun ia sangat terkejut karena Manta sudah berada tepat di depannya.

“Haaaa……,” teriaknya sambil membelakan matanya.

“Kamu siapa…mengapa kamu memanggil-manggil namaku sejak tadi?” tanya Manta.

“Oh ini Manta ikan pari yang pemberani itu, gagah juga dia, gerakanya sangat indah saat ia bergerak,” kata Dorin dalam hatinya.

 Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya saat melihat Manta yang berada  di depannya.

“Haaaaaiiii…,” teriak Manta mengagetkan Dorin.

Kali ini Dorin benar-benar kaget mendengar teriakan Manta yang terdengar keras baginya.

“Kenapa kamu bengong melihatku?” tanya Manta.

“Aku kereeeenkan…..hahhaha?” canda Manta yang tak bisa menyembunyikan tawanya melihat Dorin yang sejak tadi memanggil-manggilnya, kini diam seribu bahasa saat melihatnya. 

Kemudian Manta mulai bergerak meliuk-liukkan badannya, berenang mengelilingi Dorin, membuat Dorin terdiam di tempatnya memperhatikan gerakan Manta.

“Siapa namamu ikan biru?” tanya Manta yang tiba-tiba sudah berada tepat di muka Dorin lagi.

“Dorin…aku Dorin,” teriak Dorin segera.

“Mau apa kamu mencariku?” tanya Manta, “Rasanya aku tidak mengenalmu ikan biru.”

“Aku mau berteman denganmu, aku ingin berpetualang bersamamu” teriak Dori.

“Hei, kamu tak usah berteriak, aku bisa mendengarmu, kok,” gumam si Manta.

Ya, walaupun Manta adalah ikan pari kecil, tetap saja terlihat jauh lebih besar dari Dorin.  Itulah sebabnya Dorin seringkali berteriak-teriak saat berbicara pada Manta.  Pikirnya Manta tak bisa mendengar suaranya yang kecil.

Sejak hari itu Manta dan Dorin bersahabat baik.  Mereka sering bermain bersama, mengelilingi tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi Dorin.  Alangkah senangnya hati Dorin, akhirnya ia mendapat sahabat yang sangat baik, dan bisa membawanya bermain ke tempat yang selalu ingin ia kunjungi.  Lama kelamaan, tanpa disadari, Dorin tumbuh menjadi ikan yang pemberani seperti Manta.  Tak seperti diawal pertemanan mereka, Dorin kadang takut bila Manta mengajaknya bermain ke tempat jauh.  Namun Manta tak pernah bosan menyemangati sahabatnya itu.  Kini, ke mana pun Manta mengajaknya, Dorin tak pernah menolaknya.

“Dorin, aku pernah mendengar ada kapal karam di daerah utara, konon di dalamnya ada banyak benda-benda yang sangat bagus.  Besok aku berencana untuk pergi ke sana,” cerita Manta.

“Ayo ikut denganku” ajak Manta pada Dorin.

“Tapi itu sangat jauh Manta,” cegah Dorin.

“Apa kita kuat  sampai sana, apalagi aku, ingat aku jauh lebih kecil darimu,” jelas Dorin.  Ia kelihatan ragu untuk mengikuti ajakkan temannya itu.

“Tenang saja, aku akan selalu melindungimu….percaya sajalah padaku,” tegas Manta. 

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali  Manta dan Dorin bertemu di tempat yang mereka sepakati.   Kedua ikan itu pergi bersama, seperti biasa Dorin berenang tepat di atas punggung Manta.  Sangat menyenangkan bepergian bersama Manta, karena ia punya badan yang lebar.  Tentunya ini menjadi tempat perlindungan bagi Dorin yang mempunyai badan lebih kecil dari Manta. Manta selalu dengan sigap melindungi badan Dorin, bila tiba-tiba ada arus atau ikan yang akan memangsa Dorin.  Badan Dorin yang berwarna biru seringkali mengundang binatang lain untuk memangsanya. 

“Lihat itu kapal karam yang diceritakan itu,” seru Manta dengan gembira.

“Wow besar sekali, pantas saja bila mereka mengatakan banyak benda bagus di dalamnya,” teriak Dorin tak kalah bersemangat.

“Pasti dulu itu kapal pesiar yang sering dipakai oleh manusia berwisata melihat tempat-tempat indah,” jelas Manta.

“Oya?” tanya Dorin…”Tahu dari mana kamu?”

“Orang tuaku pernah menceritakannya padaku,” jelas Manta.

“Ah, betapa beruntungnya kamu punya orang tua, Manta,” bisik Dorin lirih.

“Sudahlah, sekarang kamu’kan punya aku sahabatmu, yang bisa membawamu ke tempat-tempat yang ingin kau kunjungi, tidakkah kau merasa bersyukur?” sergah Manta yang tak ingin temannya itu sedih.

“Ya Manta, aku sangat bersyukur punya teman sepertimu,” jawab Dorin.

Mereka sudah berada di dekat kapal karam itu, saat  dikejutkan oleh teriakan manusia.

“Hai itu ada ikan biru….wow bagus sekali,” kata seorang penyelam.

“Ayo kita tangkap,” seru penyelam lainnya.

Ada lima orang penyelam di dekat kapal karam itu.  Manta dan Dori tidak tahu sedang apa mereka di sana.  Namun, mereka sangat terkejut saat seorang penyelam mulai mendekati Dori.  Dia akan menangkap Dori!  Dori berusaha berenang sejauh mungkin untuk menghindari  penyelam itu.  Ia masuk ke dalam kapal karam itu.  Gelap! Dori tak bisa melihat apa-apa.  Ia mulai panik, ketakutan.  Belum pernah ia berada di tempat segelap ini.  Dori ingin menangis, tapi ia menahannya.

“Kalau aku menangis, aku akan lebih mudah ditangkap,” pikirnya.

“Aku harus kuat!....Harus berani!”  Ia menyemangati dirinya.

Dorin bersembunyi di balik sebuah celah runtuhan kayu yang sempit, maksudnya supaya penyelam itu tak bisa mencapainya.  Ia mengatur nafasnya sejenak, sambil berharap penyelam itu tak menemukannya.

 “Manta, dimana Manta?” Ia baru ingat bila ia tadi pergi bersama Manta.

“Aku sampai melupakan Manta untuk menghindari kejaran penyelam itu,” pikirnya. 

“Manta…Manta….Manta,” panggilnya.

Namun, sahabatnya itu tak kunjung menjawab.  Tanpa disadari, ia keluar dari persembunyiannya untuk mencari Manta.  Namun malang, ia malah masuk jaring perangkap si penyelam.  Rupanya si penyelam memasang perangkap untuk menjebak ikan buruannya itu.  Dorin terkejut saat menyadari ia berada dalam jaring perangkap penyelam itu. 

“Tidak..aku tidak boleh tertangkap, aku tak mau meninggalkan laut ini,” pikirnya.

“Aku harus bisa melepaskan diri.”  Dori menyemangati dirinya.

Dilihatnya sekeliling jerat itu, ia melihat ada celah kecil di ujung kanan jaring.  Ia berenang menuju celah itu, namun ternyata celah itu sangat kecil.  Karena terburu-buru, membuatnya tidak berhati-hati. 

“Aduuuuuh,” teriaknya.

Sirip kanannya mengenai serpihan kayu tajam yang tak terlihat olehnya.  Siripnya terluka!  Kali ini Dorin benar-benar menangis.  Ia tak peduli lagi akan tertangkap atau tidak.   Siripnya sangat sakit, membuatnya tak bisa berenang dan akhirnya terjatuh ke atas sebuah batu, yang letaknya tak jauh dari situ.  Ia terus berusaha menggerakan siripnya, tapi tak bisa.

“Bagaimana aku akan pulang, siripku saja tak bisa kugerakan,” isaknya.

“Manta…Manta…kamu di mana Manta?” katanya lirih.

Dorin merasa putus asa.  Ia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan. Ia hanya bisa terbaring di tempatnya, sambil sesekali berusaha menggerakkannya siripnya agar dirinya bisa bangkit, namun selalu gagal.

Tak lama kemudian ia mendengar suara tak jauh darinya, di balik bongkahan kayu yang menutupinya.  Dorin semakin ketakutan. 

“Jangan-jangan penyelam itu tahu di mana aku berada, sepertinya ia sedang mengangkat jaring yang dipasangnya,” pikirnya.

Namun, ia mendengar ada yang memanggil namanya.

“Dorin….Dorin…kamu di mana?” Dorin hapal betul suara itu.

“Mantaaa…..Manta, aku ada di balik bongkahan kayu yang ada di depanmu,” seru Dorin kegirangan.  Ia tak mengira bila ternyata suara yang didengarnya itu adalah suara Manta.

“Sirip kananku terluka, aku tak bisa bergerak,” kata Dorin.

“Tunggu aku,” seru Manta.

Tak lama kemudian, Manta sudah berada di depan Dorin.  Manta terkejut melihat Dorin terbaring di atas batu dan tak berdaya.

“Maafkan aku Dorin, kalau aku tak mengajakmu ke tempat ini, mungkin kamu takkan terluka,” sesal Manta.

“Kamu tidak salah Manta, aku yang memutuskan untuk ikut denganmu,” jawab Dorin.

“Karena siripmu terluka, kamu bisa berbaring di atas punggungku.  Aku akan membawamu pulang,” jelas Manta.

 Manta mengangkat dan membaringkan tubuh sahabatnya itu ke atas punggungnya dan segera berenang dengan cepat dan lincah, seolah sedang terbang melintasi lautan luas.  Dorin menikmati perjalanan pulangnya, ia tak harus susah payah berenang, ia cukup berbaring di punggung Manta, seperti di atas karpet terbang.  Ia semakin kagum pada sahabatnya itu, hingga sakitnya tak terasa lagi.

Hari itu Dorin bermalam di rumah keluarga Manta.  Orang tua Manta menerima kehadiran Dorin dengan baik, mengobati lukanya dengan obat  yang diramu khusus untuk Dori hingga sembuh.  Dorin merasakan kehangatan keluarga Manta, ia seolah mempunyai keluarga baru setelah sekian lama hidup sendiri.  Ia bersyukur kini  tak lagi sebatang kara, ia punya sahabat dan keluarga yang sangat baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bubun Buncis Takut Malam

       B ubun buncis sedang ketakutan.   Sejak sore tadi ayah, ibu dan kedua adiknya pergi ke rumah paman. “Bun, kali ini kamu tidak boleh ikut ya. Ibu tak enak kalau kedatanganmu nanti akan menulari anggota keluarga   paman.   Besok kalau kau sudah sembuh, ibu berjanji akan mengantarmu mengunjungi paman,” jelas ibu sebelum mereka pergi. “Kami tak akan lama, sebelum gelap pasti sudah kembali,” lanjut ibu. Bubun Buncis terpaksa menuruti saran ibunya, karena ia memang sedang sakit flu berat. “Tapi janji ya, jangan pulang malam-malam.   Aku pasti ketakutan sendirian di rumah,” pinta Bubun Buncis. Sudah empat jam mereka pergi, matahari mulai tenggelam.   Namun, ayah, ibu dan kedua adik Bubun belum juga tiba di rumah.   Bubun mulai gelisah, dia berjalan mondar-mandir di halaman rumah menunggu kedatangan keluarganya. Hari kemudian berubah menjadi gelap, Bubun hanya sendirian di rumahnya.   Ini adalah pengalaman pertama Bubun...

Mimi Kelinci Sang Penolong

    Mimi Kelinci menegakkan telinga panjangnya, sayup-sayup ia   mendengar suara minta tolong.     Ia   mulai berjalan ke arah   suara itu berasal.   Kakinya yang lincah mulai melompat melewati setiap hambatan yang ia temui. “Aku harus menemukan siapa pemilik suara itu,   sepertinya ia dalam bahaya,” pikirnya. Walaupun ia sudah berjalan cukup jauh, akan tetapi Mimi belum   bisa menemukan dari mana   suara itu berasal.   Mimi hampir putus asa karena tak bisa menemukan pemilik suara itu. Untunglah suara itu terdengar lagi. “Toloooong.” Suara itu kini terdengar lebih dekat. Hanya dengan beberapa lompatan, Mimi Kelinci sudah bisa menemukan siapa yang meminta tolong itu. Seekor anak penyu berada di tengah jalan aspal dan sebuah mobil yang melaju kencang sedang berjalan ke arah anak penyu itu. Tanpa pikir panjang Mimi Kelinci   menggendong anak penyu itu, lalu membawanya   ke pinggir jalan.   “Untunglah...

Janji si Lebah

  Tutu semut tak bisa menyembunyikan rasa takutnya.   Kini, badannya sedang   terombang-ambing mengikuti gerakan ransel biru yang sedang digendong oleh Alit, seorang anak laki-laki pemilik ransel itu.    Tutu tak tahu kemana Alit akan pergi, ia tak sengaja ikut dalam ransel itu.   Kalau saja ia mendengar nasehat teman-temannya, mungkin saat ini Tutu tak harus menahan takutnya bergelantungan di ujung ransel itu.   Beberapa menit yang lalu, segerombolan semut mencium aroma manis dari sebuah ransel biru tua yang tergeletak di lantai.   “Teman-teman, disini ada roti kering manis,” teriak Pimpim Semut. ”Ayo bentuk barisan, kita kumpulkan remah-remah roti kering ini untuk persedian kita.” Pimpim Semut mengajak semut yang lain. Tanpa menunggu lama, gerombolan semut itu langsung membentuk barisan   menuju ransel itu untuk mengumpulkan roti kering itu, juga Tutu.   Ini pengalaman pertama buat Tutu, sebelumnya ia belum diperbolehkan ka...